dia datang untuk mengadu rupanya. berjalan terenta-renta menuju bibir pantai.
Matanya masih se-sayu itu, se-sembab itu. Lingkaran hitam di matanya tergambar jelas di wajahnya. raut mukanya penuh kecemasan, penuh dengan
kesedihan Mungkin ia tidak begitu pintar dalam menyembunyikan kesedihannya peluh yang menghiasi dahinya kini terlihat jelas seiring pergantian senja.
sekali lagi, ia datang untuk mengadu. ia datang mengadu atas semua permasalahan hidupnya. ia datang untuk berbagi kesedihan kepada ombak. Memberitakan pada dunia bahwa batinnya nelangsa.
Nihil. Sejauh matanya memandang, ia tak menemukan secercah harapan disana. Laut yang selama ini menjadi penopang rahasianya hanya bisa bungkam. Ombak-pun tak mengeluarkan suara banyak. sunyi. senyap. hancur. runyam. kesedihan beserta keheningan mulai bercampur aduk rupanya.
Hidup dalam kemunafikkan mungkin membuatnya semakin lemah. Titik kejenuhan bahkan keputusasaannya telah memuncak. hingga... Ombak yang semula bungkam, kembali bicara. kembali menjawab semua pertanyaan yang ia lontarkan, kembali merespon semua cerita hidupnya. Ombak itu bangun. Ombak itu benar-benar bangun! ombak itu bangun. ia datang dengan ganas, memporak-porandakkan serta meluluhlantakkan semua mimpinya. mimpinya untuk hidup bahagia kini musnah sudah.
Tubuh pasrahnya hanya bisa menatap puing-puing yang tersisa dari sisa hantaman ombak itu. bahkan detik yang melihat kejadian itupun tidak sempat berkata-kata. Ia hanya dapat meratapi semuanya. Bak dihujam paku berkarat, tongkat harapan yang selama ini mampu membuatnya bertahanpun tidak sanggup lagi untuk menopangnya. Ia kemudian tersungkur. terjatuh. lalu kemudian menangis. oh tidak apa kataku tadi? menangis? iya. dia akhirnya menangis! matanya yang sembab bahkan hampir kekeringan air mata itu kembali menangis. Ia akhirnya benar-benar menjatuhkan air mata kesakitan itu.
Ombak, pantai, laut. teman yang selama ini menjadi seperti sebuah rumah baginya. Tempatnya mengadu semua permasalahan hidupnya kini justru berganti menjadi tanaman duri di jalan hidupnya.
sekali lagi, ia datang untuk mengadu. ia datang mengadu atas semua permasalahan hidupnya. ia datang untuk berbagi kesedihan kepada ombak. Memberitakan pada dunia bahwa batinnya nelangsa.
Nihil. Sejauh matanya memandang, ia tak menemukan secercah harapan disana. Laut yang selama ini menjadi penopang rahasianya hanya bisa bungkam. Ombak-pun tak mengeluarkan suara banyak. sunyi. senyap. hancur. runyam. kesedihan beserta keheningan mulai bercampur aduk rupanya.
Hidup dalam kemunafikkan mungkin membuatnya semakin lemah. Titik kejenuhan bahkan keputusasaannya telah memuncak. hingga... Ombak yang semula bungkam, kembali bicara. kembali menjawab semua pertanyaan yang ia lontarkan, kembali merespon semua cerita hidupnya. Ombak itu bangun. Ombak itu benar-benar bangun! ombak itu bangun. ia datang dengan ganas, memporak-porandakkan serta meluluhlantakkan semua mimpinya. mimpinya untuk hidup bahagia kini musnah sudah.
Tubuh pasrahnya hanya bisa menatap puing-puing yang tersisa dari sisa hantaman ombak itu. bahkan detik yang melihat kejadian itupun tidak sempat berkata-kata. Ia hanya dapat meratapi semuanya. Bak dihujam paku berkarat, tongkat harapan yang selama ini mampu membuatnya bertahanpun tidak sanggup lagi untuk menopangnya. Ia kemudian tersungkur. terjatuh. lalu kemudian menangis. oh tidak apa kataku tadi? menangis? iya. dia akhirnya menangis! matanya yang sembab bahkan hampir kekeringan air mata itu kembali menangis. Ia akhirnya benar-benar menjatuhkan air mata kesakitan itu.
Ombak, pantai, laut. teman yang selama ini menjadi seperti sebuah rumah baginya. Tempatnya mengadu semua permasalahan hidupnya kini justru berganti menjadi tanaman duri di jalan hidupnya.