Kamis, 22 Juni 2017

Perihal, kamu

[EDISI CURCOL]

Saya mendesah pelan, perihal suatu hal yang tidak pernah lepas dari pikiran saya akhir-akhir ini. siang dan malam, pagi dan petang, saat bangun dan terlelap, saat istirahat maupun beraktivitas sekalipun, lagi lagi kamu datang menghantui saya dengan wujud dalam berbagai bentuk. kadang kamu datang berwujud skenario dan mimpi mimpi yang pernah ada. tapi esok harinya kamu datang lagi dalam wujud asam manisnya kenangan.

Allah begitu baik, Tiada habisnya kesabaranku ditenun menunggu untuk orang yang seperti kamu. Sudah hampir 3 tahun saya berdoa dengan nama yang sama. Bercengkerama denganNya perihal kamu dan segala egomu. Perihal kamu dan segala impimu. Berharap semesta mengamini kita dan mimpi mimpi kamu, setidaknya. Kiranya bila untaian mimpi itu masih bisa menjulur kembali. Dan kiranya titah suaraku dapat diterjemahkan dalam sebuah lagu, maka akan ku pastikan doaku adalah lagu yang tidak pernah bosan untuk kumainkan kelak di hadapanmu.

Ribuan orang yang saya temui di tahun-tahun ini, namun saya kesulitan menemui sosok kamu di dalam mereka. Ratusan hari saya menyibukkan diri dengan segala kesibukan agar lebih mudah lupa. Puluhan hati datang menjadi penawar. Tetapi pada akhirnya lantunan doa saya kalah. Saya berada diujung asa dalam mendayuh sepeda itu. Batu-batu di jalanan menyeru untuk berbalik arah. Saya goyah. Saya lelah. Hatiku tertatih melangkah kepadamu.

Bukan kepulangan saya yang mampu menghadirkan kamu kembali. Namun kegagalan ikhtiar saya, perihal kegagalan saya mendayu pedal doa untuk berlabuh di hatimu, kembali. Sekarang saya justru memilih satu hati untuk berlabuh. Berteduh dari janji-janji ketidakpastian yang pernah kamu tawarkan. Tapi, ironinya saya masih belum sanggup menghapus mimpi kita. Doaku masih belum sanggup berganti nama.

Menertawakan kesedihan dan kebodohanku adalah hal yang tanpa sadar saya lakukan saat ini, setidaknya setelah hatimu berpaling. Namun bukankah tertawa juga butuh jeda? Bukankah deretan kata juga butuh jarak agar ia dapat terbaca?

Akhir kata, saya percaya bahwa Allah begitu baik untuk kita. Tenunan kesabaran itu akan menghasilkan sosok hati yang kuat dan tabah. Saya percaya Allah sedang menyiapkan jawaban yang paling membahagiakan untuk kita. Suatu saat nanti doa saya perihal kamu akan segera terjawab; Jika tidak di lain hari, mungkin di lain hati.

Share:

Kamis, 01 Juni 2017

Berharap kepada selain Allah


Jika kalian pernah baca mengenai tulisan gue kemarin soal jatuh hati (yang sekarang udah gue hapus karena sifatnya pribadi banget, gue lg di bawah alam sadar pas nulis) pasti kalian bisa menarik ulur benang merah kali ini.

Jadi kronologisnya, gue lagi chatting sama seseorang. kita sering sharing dan tukar pendapat mengenai agama, organisasi, dan sebagainya. namun ada satu hal yang ingin dia sampein setelah tarawih. Jadi yang lo bisa tebak gue nunggu setelah tarwih. Berhubung gengsi gue tinggi banget, gue gamau sama sekali hubungin doi duluan, jam 12an as always jam rutin tidur kita setelah chat berhubung mau sahur dan doi ga muncul juga gue langsung tidur.

Dan pas subuh, as always juga doi nge-line duluan. Dan yang bikin hati gue terenyuh terkelupas perih sakit, doi seolah ngungkit perasaan terpendam gue. “nda kecewa jki?”

Btw siapa sih gak kecewa kalau nunggu orang, dan ternyata dia ngelanggar janjinya? Tapi yang buat gue makin terenyuh lagi karena beliau nyatain “nda boleh sepenuhnya kita berharap penuh manusia. Berharap itu sama Allah dek”

Tapi apa ya… hati gue perih banget denger statement tersebut. Gue sejenak kayak kilas balik masa lalu gue sebelumnya, dimana sejak kecil ayah dan ibu selalu mewanti-wanti untuk tidak berharap kepada orang lain, proudly and arrogantly gue saying kalau gue bener-bener anak mandiri walaupun harus nanggung semuanya disini *nunjuk hati*

Ibu gue selalu bilang sesusah apapun jangan mengeluh, sesenang apapun jangan berlebihan. Bukti konkrit keluarga gue gapernah ngeluh ke orang lain mengenai masalah internal keluarga gue, lo hanya perlu terlihat just fine walaupun lo banyak masalah pikiran dan mungkin ini yang bikin karakter gue sebagai seorang introvert.

Sejak kecil juga ayah selalu marahin gue kalau gue justru menyalahkan orang lain perihal sesuatu yang gue gabisa lakuin. Walaupun ujung-ujungnya gue jadi pribadi yang pemikir banget, peragu dan juga cenderung nyalahin diri sendiri. Kilas balik lagi, selama gue kuliah.. apapun yang terjadi gue gapernah berharap sama orang lain walaupun gue udah mau pingsan kerjainnnya. Ospek pun begitu, gue ngelihat sesti yang dibantu sama fiqri dan mishfah ngga menjadikan gue pengen berharap juga sama orang lain buat dibantu. Dan saat SD-pun, gue nangis nangis kerjain peer aritmatika yang sehari bisa 500an nomer ga menjadikan gue minta bantuan ke orang lain untuk ngerjain hal tersebut. Be independent!

Tapi terkadang, kalau bicara soal hati gue masih lalai. Dengan sifat hati yang selalu berbolak balik, lalu kemudian sengaja ga sengaja pasti hati memupuk rasa harap tsb. Yaa wajar sih kalau orang orang pada bilang cinta itu buta. 

Dan setelah statement tadi, gue merasa jadilebih kuat dibanding sebelumnya. Gue merasa gaperlu berharap lagi sama doi*eh. Hahaha, engga deng. Dunia akan selalu lebih indah dan tenteram ketika lo percaya bahwa lo bisa ngelakuin semuanya tanpa bantuan orang lain. Allah akan menjadikanmu kuat dengan hanya berharap penuh kepadaNya. Berusahalah semaksimal mungkin! 

Satu lagi paragraf yang pengern gue utarain. jatuh cinta boleh, tapi jangan sampai buat Allah cemburu. Wassalam, selamat menjalankan ibadah puasa
Share: