Rabu, 22 Juli 2020

Privileges

Kata privilege mulai populer sejak 3 tahun terakhir. alasan gue nulis topik ini karena... film crazy rich asians, thread tentang pak nadim, dan juga kehidupan pribadi. wkakak monmaap. yauda yuk dibahas.

Semua orang pernah merasakan bahwa setidaknya mereka pernah bertemu satu orang dalam hidup mereka dengan sebuah privilege. kadangkala, privilege membuat kita berpikir hidup seolah tidak adil. yatapi...gue gabisa bohong gue juga berasumsi sama. hehehe. because for some things, we dont get to choose in life.

dalam hidup, gue adalah salah satu anak yang lahir dengan privilege untuk satu dasawarsa hidup gue. ayah dulu seorang pimpinan proyek&kepala dinas belasan tahun. dan syukurnya hal ini dimanfaatin oleh ibu gue agar gue bisa mengenyam pendidikan dimana saja. gue les sana sini, kursus sana sini, everything to be developed. gue mengenyam banyak hal, dalam satu dasawarsa pertama kehidupan gue.

karena seorang anak dari pejabat, gue cukup terkenal di sekolah dasar dulu. gue selalu berpikir kalau gue ga pinter. yang tak lain hanya karena subjektifitas guru guru aja. gue gapernah dipukul sedikitpun sama guru. gue gapernah tuh dapet nilai yang ga tinggi. gue dicap jadi anak yang wow. with all the privileges, i had. gue ngikutin lomba sana sini meskipun gapernah menang. eh pernah deng, sekali. kompetisi SD (eh btw baru inget gue menang 3x berturut turut lomba aritmatika wkakak)

gue ternyata udah dipenuhin negativity dan suspecting everyone sejak kecil karena setiap guru yang bertemu gue selalu menanyakan ayah atau ibu. karena gue bersekolah dasar di deket rumah, ga banyak orang having a good privilege as good as i was. jd gue selalu menganggap gue gapinter. mereka aja yang berlebihan. (whoever you are reading this, pls identify what did happen to the little me?)

hingga saatnya ayah pindah jabatan. gue mulai sadar hidup itu kayak gelombang ekg. my 11 years-old-self. secepat itu gue berpikir dewasa. juga mungkin karena gue punya saudara "lain". sekali lagi, we dont get to choose. the day i started mengusahakan everything by my own self. meski yang bikin gue sedih orang tua gue juga selalu ada di belakang gue mengusahakan segala sesuatunya (you dont say bgt ini:") gue masuk 10 besar SMP. bebas biaya. karir gue mulai berjalan mulus disini sampai SMA. atas kehendak Allah juga sih, satu anak tangga rupanya menjadi anak tangga yang lain, satu mimpi mewujudkan mimpi yang lain, gue akhirnya berada di tempat ini. fkg.

di fkg... ya kalian tau sendiri ya gimana. anak dosen peternakan masuk fakultas peternakan. anak dokter, ya jadi dokter juga. or setidaknya punya keluarga dokter. dan gue? nggak sama sekali. ada, dua orang, itupun sama-sama om dari ayah, dan om dari ibu. masing masing dokter kulit dan dokter kandungan. dan untuk sampai di tempat inipun,  yang gue punya hanya kemauan dan juga alhamdulillah berkecukupan. nggaksih, maksud gue for those yang punya tiga hal penting keturunan, jabatan, dan finansial yang berlebih. i did not own it. for sure.

sejujurnya gue kadang pengen protes aja, kok mereka yang hanya punya finansial berlebih gaperlu bersusah payah masuk. kadang juga gue berpikir gue pun bisa jadi dokter umum, dengan bayar sekian ratus juta, kalau kondisinya gue crazy rich atau anak terakhir. yague pengen protes aja, gimana dengan orang orang yang mengusahakan segala sesuatunya dari keringat dan air matanya sendiri. wkakak jadi mellow lagi.

Thread semalem yang gue baca adalah "semua orang bisa kok jadi pak nadim" mengusahakan segala sesuatunya dari diri mereka sendiri. Maudy Ayunda juga gitu, bisa kok semua orang jadi dia. but.. tidak semudah itu, ferguso. lagi lagi soal privilege, privilege was just like a starting point. setiap orang punya garis start yang berbeda. pak nadim seorang lulusan harvard, dengan orang tua yang juga merupakan lulusan harvard di tahun segitu. where sekolah aja dulu susah banget. sekelas hotman paris pernah bekerja langsung sama bapak pak nadim. pun dengan maudy ayunda yang didukung finansial berlebih. gimananih jadinya?

Crazy rich asian juga mengingatkan gue soal kisah percintaan gue yang buat gue merasa ga deserve anything. so... dari hal ini, gue udah bertekad, dan kalian juga harus bertekad, membangun usaha dari nol, dari keringat dan airmata sendiri untuk sebuah privilege. setidaknya untuk anak-anak kalian kelak. gue percaya anak-anak dengan privilege selalu lebih percaya diri dalam hidup, and it was good for their own growth. so they dont have to doubt anything, on every decision they made, on every way of life they choose, and anything else.

Privilege yang ibaratnya sebuah garis start. bandingin hidup hukumnya sangat perlu sebagai motivasi, tapi jangan lupa kalau kita juga berangkat dari garis start yang berbeda. mungkin ada yang berangkat dari nomer 9, tapi kita berangkat dari angka 3. jelas berbeda prosesnya. so, yang gue harap jangan putus asa berjuang ya. Allah itu dekat. Janji Allah sifatnya pasti. Semangat!
Share:

Selasa, 21 Juli 2020

Keterkaitan

sejak blog ini ada.. kontennya bervariasi. bisa isi pikiran, isi perjalanan, isi lawakan, tergantung mood saya. tapi setelah saya mengulasnya dengan seksama, blog ini ternyata sudah berubah menjadi penyalur isi pikiran saya secara utuh. pikiran yang menjelma perasaan kemudian bermetamorfosis lagi menjadi kata. rasanya, tidak enak jika terus menerus menjadi lemah oleh masalah. tapi bukankah ini yang menjadikan kita seorang manusia?

terkadang, apalagi sejak kuliah, saya merasa malu jika harus sedih. apalagi soal cinta dan perasaan. saya malu jika memiliki masalah. tapi sesampainya menjadi koas, saya mengerti bahwa masalah itu memanusiakan. setiap hari kita memiliki masalah. sampai saya terjerumus kepada toxic positivity dan menjadikan saya merutuki diri terus terusan hampir setiap hari. merasa depresi oleh keadaan. merasa tidak siap menghadapi hari setiap paginya. merasa insecure. merasa hidup seperti bipolar karena mood berubah drastis, pikiran kacau, hati ingin menangis, dan seperti ingin berteriak lelah setiap hari. ketakutan.

saya sering bergelut dengan perasaan. istilahnya, saya seperti sedang berputar mengitari hal hal ini saja. apalagi, cinta. perlahan saya harus memulai dengan penerimaan. karena ini, merupakan hak prerogatif saya sebagai manusia. dibanding menganggap konsen ini sebagai sebuah kutukan, mengapa tidak saya anggap saja ini sebagai pemberian? pemberian yang baik. suatu keberkahan. karena yang saya pikir, tidak semua orang paham dengan cinta, dengan perasaan mereka sendiri, seperti tidak semua orang memahami matematika. oleh karenanya saya ingin menjadi salah satu yang selalu ada, bagi mereka tipikal orang seperti saya, dan untuk orang lain yang berpikir bahwa cinta dan perasaan itu hal yang tabu.

saya sering terkait dengan beberapa hal, yang saya pikir pertanda dari Allah. tapi tidak pernah jelas apa maknanya. berawal dari hubungan saya di masa sma, yang mungkin menjadi batu loncatan saya untuk sampai di detik ini. Maha Kuasa Allah dengan segala petunjukNya, menuntun hati saya untuk memimpikan bapak dari teman saya ini 3 hari berturut turut sebelum pemilihan jurusan. tidak sampai disitu, sayapun dipersatukan bersama sepupu dari teman saya ini dalam satu posko KKN. diantara ribuan kemungkinan yang ada. sampai pada detik inipun, melalui beberapa acara dan event, saya seringkali dipertemukan secara tidak sengaja dengan kedua orang tua teman saya ini. bukan hanya satu dua kali, namun berkali kali. Yang entah saya pikir, mungkin ini pertanda bahwa ia adalah jodoh saya. namun, bukan ternyata.

kali kedua, terjadi ketika saya merajut hubungan dengan seseorang lain . ketika saya melihat dia, saya melihat diri saya sendiri, secara utuh. pernahkah kalian membayangkan, ketika kalian bertemu seseorang dalam satu lirikan mata kalian bisa mengerti pikiran dan perasaan yang ada pada diri mereka, tanpa berbicara satu sama lain? seperti itu kira-kira yang saya rasakan. saya selalu merasa sulit dimengerti oleh orang-orang, tapi tidak dengan orang ini. juga, hubungan keluarga dari dosen pembimbing skripsi saya, secara langsung. bagaimana tidak jika saya berpikir bahwa ini seperti, takdir? tidak sengaja terkait dan tinggal pada satu tempat selama 49 hari. sampai detik inipun, saya selalu merasa beberapa ketidaksengajaan seperti ingin menjelaskan sebuah keterkaitan yang kita miliki. meski pada akhirnya, saya tahu kita tidak bisa bersama oleh karena dinding-dinding yang oleh saya tidak begitu kuat untuk ia tempuh lebih jauh. perbedaan ragam status sosial, dan budaya. juga soal penerimaan.

Keterkaitan, kebetulan yang berulang. tidakkah kalian berpikir bahwa ini sebuah pertanda? atau hanya sebuah kebetulan. pun sampai sekarang, saya selalu berpikir, benar bahwa terkadang saya harus selalu acuh terhadap hal-hal ini, karena dalam hidup pun, saya menyaksikan beberapa orang masih beraktivitas bersama, mereka pernah saling mencintai namun tidak satu atap, dan hal itu tidak berarti apa apa bagi mereka. satu kebetulan yang menggait kebetulan lainnya, tidak harus selalu berujung takdir, ternyata.
Share:

Sabtu, 18 Juli 2020

Sugeng Tindak, Eyang!

ada yang selalu kaya
tanpa kaidah
sebut saja dia olehmu
aksara

diramu oleh kata
disajikan dengan rasa
disuguhkan sebagai karsa

tidak perlu bersusah menyelami makna
karena sekalipun
wujudnya tak pernah dangkal

sederhana
seperti puisimu
yang menghujan
di bulan juni

namun tabah
seperti pergimu
yang menghujam
di bulan juli

kini ia aksara sudah berjumpa
dengan ia yang menulis dengan cinta

kini ia ksara telah menemui
kepada ia yang berbahasa pada abadi

selamat jalan eyang
yang tak pernah lekang

yang fana adalah waktu,
aksaramu abadi!
Share: