Rabu, 21 Februari 2024

Penerimaan

 
Betapa sering saya mereka reka kembali apa yang sudah saya lakukan beberapa tahun belakangan ini. Memilah dan memilih. Menimbang-nimbang. Menakar-mengukur-hingga ke akar.

Kadang saya pikir keputusan menikah dini ini terlalu gegabah. Tetapi, ketika saya terka kembali, sepertinya sudah tepat. Hanya saja caranya yang kurang elok. Hanya saja jalannya terlalu berliku. Hanya saja pemahaman demi kesepahaman begitu rumit. Hanya saja idealisme datang mengganggu diri. Tapi kembali lagi, Semuanya sudah Allah takar sesuai porsinya.

Dulu saya begitu pemilih dalam jatuh cinta. Harus sesuai dgn idealisme yang saya buat. Tapi saya pikir lagi, bukan idealisme yang membuat kita menikah, melainkan kesiapan kita menerima. Menerima serba serbi kekurangan, menerima dan menanggung resiko, penerimaan diri dan masa lalu, menerima ketidaksempurnaan itu sendiri.

Dalam proses menuju pernikahan hingga setahun lamanya, mungkin saya terkesan menantang takdir bermodal doa. tapi Allah begitu penyayang dalam penyempurnaan takdir saya sendiri. Tidak dikabulkan. Satu per satu orang yang saya harap datang, tidak tergerak hatinya untuk datang. Namun suami saya yang saat itu sangat minim komunikasi, juga tidak sedikitpun mengeluarkan kata mundur dari saya. Bias, namun cukup jelas untuk berpihak pada takdir yang mana.

Semoga dalam proses ini, kita bisa saling memaklumi, menyempurnakan, melupakan beberapa hal yang kerapkali datang mengganggu kita. Kali ini saya menulis, bukan karena saya ingin kembali kepada masa lalu saya, namun lebih kepada saya ingin terus tumbuh meski tidak lagi utuh.

dulunya saya menikah hanya bermodal iman. semoga kali ini, sepanjang hidup saya, meski hal ini begitu sulit, iman saya tetap terjaga. Selayaknya fitrah iman itu sendiri, tetap percaya pada Allah meski sedang porak poranda. Semoga iman saya senantiasa menguatkan saya serta menjadi kendaraan terbaik dalam melewati jalan penuh liku ini.

Share:

Senin, 05 Februari 2024

Bilik ingatan

——

Begitu kurang ajarnya ruang bernama ingatan itu. Ia berlari menggedor pintu bernama perasaan. Ia mengejar masuk dari sela sela bilik duka. Ia menjanji bahagia bernama dosa, ia menawar kelu menjadi sebuah asa. Padahal ia sudah mati oleh waktu, tapi keadaan memanggil lagi ia untuk hidup.


Dalam bilik ingatan ini, ada duka yang meraung ingin dikenang lagi. ada perpisahan yang ingin mereka rayakan sekali lagi. Kata mereka, di dalamnya pernah ada rumah yang pernah aku cintai sebegitu dalamnya. Rumah—yang kau tahu—di pekarangannya mengalir sungai cita dan bunga-bunga yang mekar. Mereka rupanya cinta yang pernah aku pupuk dengan kesabaran. Mereka ternyata setia yang pernah aku sirami dengan tabah.


Dalam bilik ingatan ini, masih ada kamu yang tidak pernah asing, berdiri tegap meratapi seluruh sudut ingatan. Masih ada rasa yang jelas aku kenali setiap lekuk wajahnya. Masih ada aku yang bersembunyi di balik tirai dosa bernama kenangan, berlagak mengampuni rasa yang seharusnya sudah lenyap ditelan memori.


Pada bilik ingatan ini, biarkan aku mengunci dan menutup pintu rapat-rapat. Agar tidak ada lagi yang mencuat melucuti angan. 


 

Share: