Jumat, 27 September 2019

Genetically Engineered


Seminggu yang lalu.. gue sempat terkesima dengan pembahasan dosen magister gue soal newest invention from USA, stating that we were actually has been genetically engineered. DNA kita udah dikonstruksi sedemikian rupa, dan sedetail mungkin. Semua cerita hidup kita ada dalam DNA kita dan mereka menemukan alat untuk mendeteksi itu. Karena berbasis kesehatan, maka penekanannya ke kesehatan juga. Jadi semua penyakit yang akan lo derita bakalan bisa terprediksi sejak lo masi jadi fetus guys.. bahkan usianya pun sudah bisa terdeteksi. Misal nih, lo bakal derita penyakit DM di usia 40 tahun, dan itu sebenarnya bisa dikonstruksi kembali melalui serangkaian pengkodean genetik. Hebat gasih ini:”)

Point dari penulisan gue adalah.. gue terkesima aja sama statement yang nyatain bahwa takdir itu memang ada. Lauhul mahfudz itu emang bener ada. Tetapi mereka mendefinisikan lauhul mahfudz melalui gen. Dosen gue bilang, bahkan kita terkumpul di tempat ini, di ruang perkuliahan ini sudah dikonstruksi sebaik mungkin dan ditakdirkan sama Allah. Ini seperti, ada gaya magnet dalam DNA kita yang akan saling mempertemukan kita dengan orang lain dalam waktu dan kondisi yang sudah ditentukan juga.

Maafin gue yang rada melankolis ini. Pernah gasih kalian berpikir untuk semua kemungkinan, beribu ribu kemungkinan di dunia ini dan ternyata terjadi satu kemungkinan dan untuk “menenangkan diri” kalian memercayai bahwa itu adalah takdir? Atau hanya sebuah kebetulan?

Lantas gue berpikir mengenai teman-teman KKN gue. What if gue ngatur penempatan gue, what if ada seseorang yang hampir bgt gajadi ambil kkn profesi kemarin, atau ada yang daftar jenis kkn lain, mungkin aja gaada cerita kkn gue yang seseru kemarin.

Long story short.. gue jadi ingat kalau sebenernya saat ruh kita ditiupin pertama kali ke dunia, kita udah menyepakati segala hal, segala takdir kita di dunia ini. We have alrd sign a beautiful contract, that we have been actually engineered, right from the start.

Share:

Jumat, 06 September 2019

hehehe


Gue nulis ini di kondisi gue lagi sendiri, di klinik, lagi ga ada pasien, dan orang orang pada quality time di luar.

Ya.. hi people,

gue lagi sedih karena adik gue sedih. Seluruh keluarga gue sedih. Ofc. Karena adik gue ga lulus tahap terakhir STAN. Ini tes keduanya. Tes pertama doi ga lulus dan hanya -1 poin dari nilai standar. Dan tahun ini, nilainya sangat diluar ekspektasi, jauh memuaskan. Nilai psikotes yang luar biasa. Tes kebugaran dan kesehatan mencapai standar. Dan gagal di shuttle run karena mencapai 24 detik, beda 4 detik dari standar. Hanya karena adik gue jatuh di detik terakhir. DETIK TERAKHIR. Depan mata gue. idk di detik itu juga sakit bertubi tubi perasaan gue. segala kata kata orang soal “jangan jatuh saat TKK” terngiang ngiang. Rasanya perasaan dan harapan gue hancur, tapi lebih hancur lagi hati gue saat ngeliat adik gue kesakitan karena jatuh. Badannya lebam. Mukanya lemas tidak bersemangat karena ketika pulang harus dianterin sama bapak security naik motor karena ga sanggup jalan..

Saat itu gue rela bangun jam 5 subuh di tengah hectic perkoasan gue, ga masuk klinik seminggu, bolos koas sehari demi temenin adik gue. tiap pagi sore dia latihan. Minum jus wortel, susu beruang tiap hari. Berbulan bulan. Tiap hari ibu gue nelfon kabarin progress adik gue. betapa senangnya ayah dan ibu gue soal berita bahagia yang adik gue bawa semenjak dia keterima tahap 1 stan. Yang lulus bisa dihitung dengan jari dari kota palu. Sampe sampe ibu gue yang orangnya pemikir banget over little thing yang tanpa sadar gennya diturunin ke gue juga wkwkwk, gapernah stres whenever gue keluhin gaada pasien. Padahal kemarin kemarin pasien gue ga datang 1 aja doi udah ikutan stres luar biasa. Tapi kemarin semuanya berhasil tertutupi sama berita baik adik gue selama 2 bulan ini.

Yang mau gue bilang, gue sedih, gue tau perasaan adik gue ga lolos 3x berturut turut di pilihannya. Sedih banget karena rerata dia gak lulus di kata nyaris. Nyaris banget malah. But yes, almost is never enough, tho. Gue sedih aja guys.. dengan keterimanya adik gue di stan, beban hidup gue berkurang sebagai anak pertama, sebagai anak yang dibangga banggakan, sebagai harapan tulang punggung keluarga. Gue pengen juga liat adik gue dibangga banggain depan orang lain, depan keluarga gue. beban hidup untuk ngebiayain adik adik gue bisa gue share ke dia, tapi nyatanya qadarullah, Allah bilangnya belum.. hehehe:’)

Yang buat gue kepikiran juga adalah, waktu ini merupakan timing yang pass buat gue nentuin lanjut S2 apa nggak . Gue lagi ada di fase melulusi matrikulasi s1, dan alhamdulillah lulus. Jujur gue capek banget, keteteran banget, tiap hari kerjaannya mau nangis nyelesain semuanya. Walopun di satu sisi gue nikmatin prosesnya. Tapi spp adik gue mahal wkwkwk. Egois banget gue ambil s2 bareng koas gigi yang menguras dompet sedangkan adik gue aja s1 nya belum selesai. Tapi di satu sisi, gue pengen taking a long break 2-3 tahun post dokter gigi dari persekolahan. Gue pengen fokus berkarir. Gue pengen quality time bareng ortu gue. gamau sekolah dulu. Dan hanya ini satu-satunya waktu yang pas buat gue untuk ambil s2, meskipun ngga di universitas impian gue, yang penting kan ilmunya. hehehe

Cerita demi cerita, setelah telfonan tadi, sekeluarga alhamdulillah legowo. Selalu ambil hikmahnya. Selalu tau bahwa ada yang lebih baik dari ini. Tapi gabisa bohong gue sedih sekali. Pengen banget gue shalat tapi lagi gabisa shalat wkwkwk. Bahkan yang lebih sedih dari ini, kalimat penutup dari ibu gue bilangnya “sekolah baik2 nak, cepat lulus" udah ketebak ekspresi gue gimana hehew.


“bisa jadi kamu membenci sesuatu tapi ia baik bagimu”percaya kok sama firman ini. :")
Share:

Kamis, 05 September 2019

Sia

saya menulis ini saat sedang dalam beristirahat dalam rentetan perjalanan ini. ini seperti saya sedang mengelilingi labirin yang dikelilingi pintu pintu terbuka yang tidak ingin saya masukki sejak awal. Meskipun, pada pintu ke sekian yang saya lewati.. rasanya ada gaya magnet yang menarik saya ke dalam titik persinggahan yang ternyata ada kamu di dalamnya. 

begitu lihainya kamu merasuki saya dan segala pikiranku. dalam hitungan detik, tidak terhitung berapa bagian dari kamu yang berhasil menutupi semua celahku, membuat saya menjadi perempuan paling beruntung di dalam pikiran saya. masih teringat jelas beberapa kali kamu menyalakan lampu harapan meski kadangkala ia redup. beberapa kali saya tidur tenggelam dalam pangkuan citamu yang begitu erat hingga saya terlampau percaya. sebab sudah lama rasanya saya tidak membenamkan diri pada perasaan seperti ini lagi, sebab sudah lama saya belum pernah dipertemukan dengan orang seperti kamu, lagi.

sampai pada akhirnya saya pulang. saya terpaksa pulang karena jiwaku sudah kadaluarsa menelusuri pikiranmu, katamu. saya kembali, menelusuri labirin yang lain. beberapa kali saya melewati pintumu, sesekali mengetuk, beberapa kali mengintip, sekian kali mengendap endap mencoba masuk kembali. Namun setiap kali saya melewati titik persinggahan milikmu, ini seperti saya sedang mencoba mendobrak paksa pintumu yang sudah membatu untuk saya masukki. saya lupa, bahwa tuhan pernah menyebut kita ini sia-sia.
x
Share: