“Sudah seberapa lama? Apa kurang lama?” mereka berbisik seolah tidak ada yang mendengar. menggaung sampai ke ulu hati.
tempat persinggahan ini kembali rasanya tidak aman. beberapa kendaraan turut lewat dan tetap dengan hati yang ragu jawabku sama; tidak, terima kasih.
Sebentar lagi hujan reda. Gusar dan gelisah. bukan panas perpisahan yang ku takuti, namun acapkali karena kita yang dipaksa menguap. Beberapa kali ku berharap kamu menepi sesegera mungkin. secepatnya. tidak apa jika kamu dikeluti peluh, keluh, dan kesah. ku terima dan ku dekapnya erat, seperti dulu. seakan lupa pada takdir, seakan lupa bahwa kita pernah, sebentar.
Kali ini, bukan hati yang aku pilih untuk berhenti. namun ruang tunggu yang penuh sesak dan isak. Mereka bilang, ruang tunggu ini sebuah perhentian. Tempat memilah dan memilih. Ingin berpisah atau berpindah kisah. Atau sekedar menunggu hujan untuk segera reda pada puncak punggungmu. Meski sesekali mengusap harap agar ia berhenti isak.
Ingin sekali aku merutuki seluruh dinding ruang tunggu ini. saksi perhentian paksa sebuah rasa. saksi segenap hati yang ku tolak agar kamu tidak terelak. saksi seribu doa yang terperanjat pada cerita hati yang terperangkap.
Perihal ruang tunggu, dan segala hal yang tidak pernah kau tahu.
juga pada hal hal yang terhenti
pada rindu, asa, dan rasa
yang kau tahu
tidak pernah mampu
dibunuh oleh waktu
dan seluruh ingatanmu.