Kamis, 20 Oktober 2011

Keagungan sang waktu :)


             Disebuah pulau tak bernama, ada sebuah kehidupan. Pulau itu dihuni oleh si Bahagia, si Sedih, si Senang, si Kaya, si Miskin, si Tampan, si Cantik, si Jelek dan si Cinta. Mereka hidup berdampingan dalam kedamaian yang belum pernah terjadi di pulau lainnya. Suatu hari, tiba-tiba ada badai dan air laut mendadak pasang. Ombak bergulung-gulung, menghantam pulau itu. Semua penghuninya panic. Mereka sibuk berlarian untuk menyelamatkan diri dan berebut mendapatkan sampan yang  jumlahnya terbatas.
             “Cinta, si makhluk lembut dan paling baik pun bingung karena tidak mendapatkan sampan, juga tidak bisa berenang, sementara air sudah mencapai betisnya. Ia berlari kesana-kemari, minta tolong, tapi tak ada yang menolong. Ketika air sudah mencapai paha, Cinta menangis. Lalu, ia berteriak pada si Bahagia yang siap pergi dengan sampannya. Tapi si Bahagia diam saja. Ia terlalu larut dalam bahagianya karena bisa mendapatkan sampan untuk menyelamatkan diri.
            “Cinta lalu menghampiri si Sedih dan minta pertolongannya. Sedih menjawab, ‘maafkan aku, Cinta. Aku tidak bisa membawamu karena aku pun terlalu sedih dengan takdir Tuhan ini. Aku tidak mau erbagi kesedihan denganmu jika kau ikut naik ke atas sampanku ini. Minta tolonglah pada si senang.’ Cinta lalu menghampiri si Senang dan minta tolong padanya. Tapi, Senang malah tertawa-tawa saking sanangnya mendapatkan sampan, hinnga permohonan Cinta tidak digubrisnya. Cinta semakin sedih, sementara air sudah mencapai pinggangnya.
            “Tapi, ia tidak putus asa. Ia menghampiri si Kaya yang hendak pergi dengan membawa semua kekayaannya. Si Kaya ini pun menolaknya dengan perahunya telah dimuati semua hartanya. Jika si Cinta ikut naik, si Kaya takut tenggelam bersama semua kekayaannya. Cinta mendatangi si Miskin, lalu minta tolong padanya. Tapi, si Miskin tidak bisa pula menolongnya dengan menjawab, ‘Sampanku ini aku beli dari hasil mengemis hingga kecil dan sempit. Kalau kau ikut naik, aku takut kita tenggelam di tengah lautan. Minta tolonglah pada si Tampan dan si Cantik yang naik sampan bersama’. Cinta mendatangi mereka berdua. Tapi, keduanya seakan tak mendengar permohonannya karena mereka sedang larut dalam pesona penampilan masing-masing.
            “Cinta menangis semakin sedih, apalagi ketika air sudah mencapai dadanya. Terakhir, ia mellihat si jelek sedang mendayung melewatinya. Cinta pun memohon pertolongan padanya.
‘Mohon maaf, Cinta. Aku  tak pantas berdekatan denganmu karena aku ini jelek. Aku takut kau yang mulia ini terbawa sial karena berada dekat denganku. Maafkan aku Cinta,’ jawab si Jelek, lalu pergi dari hadapan Cinta dengan sampannya. Cinta kini sendiri. Ia menangis tersedu-sedu, sementara air sudah sampai lehernya dan hampir membuatnya tenggelam.
            “Akhirnya, ia pun pasrah pada takdir yang akan menghampirinya. Namun, di saat air hampir menenggelamkannya, seorang kakek berpakaian putih langsung menariknya hingga cinta ke atas sampannya. Cinta senang dengan pertolongan itu. Ia dibawa menuju ke sebuah pulau yang tak bernama. Ketika sampai di pantai pulau tak bernama itu, si kakek  pergi begitu saja. Cinta yang terlalu senang jadi lupa menanyakan siapa gerangan  kakek baik itu. Lalu, ia bertanya pada penduduk setempat mengenai kakek tersebut. Penduduk itu menjawab,
‘Dialah sang Waktu!”.


“Sebuah filosofi kehidupan. Nyata waktulah yang lebih agung daripa cinta karena waktu itu tak pernah bisa ditentukan kapan datang dan perginya, meski sejatinya selalu ada di sekitar kita dan lebih bisa menghargai cinta.”
Share:

0 komentar:

Posting Komentar